Sejumlah calon kepala daerah (cakada) menebar berbagai janji manis untuk menjaring suara sesaat sebelum Pilkada serentak 2024 berlangsung. Terdapat janji-janji yang realistis namun tak jarang terdapat janji yang cukup bombastis.
Banyaknya calon yang bersaing dengan tingkat edukasi pemilih yang makin kritis membutuhkan daya tarik yang lebih dibandingkan era sebelumnya. Masyarakat semakin melek informasi sehingga dengan janji yang biasa-biasa saja akan semakin sulit untuk merebut hati pada pemilih.
Merumuskan janji politik oleh cakada adalah hal yang wajib dilakukan sebagai branding dari cakada yang sedang berlaga. Mengemas sebuah janji agar menarik namun tetap realistis merupakan sebuah hal yang rumit. Seorang cakada tidak bisa hanya melihat angka global APBD sebagai informasi dalam menyusun janji politik, perincian APBD termasuk melihat data historis menjadi hal esensial yang harus dilakukan.
Tanpa ada kemauan untuk melihat data historis maka akan menjerumuskan seorang cakada dalam sebuah janji utopia yang tak mungkin terlaksana, serta akan membuat pemilih jadi apatis karena telah berpengalaman dengan janji-janji yang tak terealisasi.
Serumit apapun janji politik yang dicetuskan, basis ide utama tetap harus berdasarkan anggaran publik yang tersedia. Total anggaran daerah (APBD) bukan sebuah ruang yang bisa disesuaikan seluruhnya untuk membiayai janji politik yang telah disampaikan sebelumnya.
Terdapat alokasi-alokasi belanja yang sudah menjadi beban tetap (baseline) serta alokasi wajib (mandatory) yang tidak bisa diutak-atik lagi. Praktis ruang fiskal yang tersedia secara nyata hanyalah porsi minimal dibandingkan dengan alokasi yang sifatnya tetap dan wajib.
Tantangan utama terkait modifikasi anggaran pemda adalah keberadaan alokasi beban tetap yang ditanggung setiap tahunnya. Belanja pegawai serta belanja barang dan jasa mengambil porsi yang signifikan pada sejumlah daerah di Indonesia.
Untuk belanja pegawai misalnya, rata rata pemda mengalokasikan 37% dari APBD untuk menggaji pegawainya. Proporsi ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan batas maksimal yang seharusnya hanya di angka 30% dari APBD. Tentu saja karena angka yang digunakan adalah rata-rata maka akan dijumpai pemda yang mengalokasikan belanja pegawai dengan jumlah yang ekstrim yaitu di atas 50% dari APBD.
Apabila belanja pegawai kemudian ditambahkan dengan belanja barang dan jasa maka porsi beban tetap secara rata-rata mencapai angka 65%. Praktis sisa anggaran yang bisa dialokasikan untuk mengakomodasi program kerja cakada tinggal kurang dari 35%.
Angka tersebut akan lebih kecil lagi juga belanja pegawai yang disediakan memakan porsi yang ektrim. Selain itu, jika masih terdapat alokasi wajib lainnya yang harus disediakan oleh pemda bersangkutan maka besaran ruang fiskal yang tersedia akan semakin mengecil. Artinya program kerja yang ditawarkan oleh cakada hanya akan didukung oleh anggaran yang sifatnya minimalis.
Bagi seorang cakada, jika hanya bertumpu pada ketersediaan belanja pada APBD maka program kerja yang diusung akan monoton dan kurang berwarna. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya ruang fiskal dalam APBD yang bisa diutak-atik.
Untuk memperkaya program kerja cakada, terdapat setidaknya dua cara yang bisa dilakukan agar program kerja yang ditawarkan semakin beragam. Pertama yaitu mengharmonisasikan program kerja yang diusung cakada dengan program kerja pemerintah lain misalnya dengan program pemerintah pusat.
Menumpang dengan program serupa yang diinisiasi pemerintah pusat adalah cara termudah untuk menambah ragam program kerja yang akan diusung. Bisa disebut mudah karena beban anggaran yang nanti digunakan akan dibiayai oleh pemerintahan pusat alias akan meminimalisasi beban yang ditanggung oleh APBD.
Meskipun menyelaraskan dengan program kerja pemerintah pusat mudah dilakukan, namun tidak selamanya cara ini efektif dilakukan. Apalagi jika menghadapi pemilih yang kritis, bisa jadi janji kampanye yang sedianya menjadi unggulan malah akan dijadikan sasaran tembak oleh lawan karena dianggap hanya rebranding program pemerintah pusat.
Taktik lain yang bisa dipergunakan untuk menambah variasi program kerja unggulan yaitu dengan memperbesar belanja sehingga secara rupiah alokasi yang bisa diutak atik dalam APBD akan bertambah. Caranya tentu saja dengan menaikkan sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Peningkatan PAD jelas akan menciptakan program kerja yang benar-benar “baru” sesuai dengan profil kepala daerah terpilih. Kepala daerah bisa berimprovisasi dengan menambah benefit bagi rakyatnya baik berupa bantuan sosial maupun subsidi.
Dan program kerja tersebut bisa jadi merupakan hal spesial yang mungkin tidak di jumpai di daerah lain. Tudingan rebranding atau menumpang program kerja pemerintah pusat bisa ditepis tatkala kepala daerah terpilih mampu meningkatkan PAD untuk membiayai janji politiknya.
Hanya saja untuk meningkatkan PAD bukan suatu hal yang mudah. Penghasil PAD tertinggi didominasi oleh pemerintah provinsi di Pulau Jawa dengan sumber utama dari kendaraan bermotor. Untuk selain Pulau Jawa, menjadi tantangan tersendiri dalam menggenjot pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor dikarenakan populasinya tidak sebanyak di Pulau Jawa.
Pemda dengan jumlah penduduk yang banyak memiliki keuntungan khusus dalam meningkatkan PAD. Sejumlah pajak yang menjadi kewenangan daerah berbasiskan jumlah penduduk dalam perhitungannya. Sebagai contoh adalah Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan.
Selain PBB, Pajak Barang dan Jasa Tertentu juga dipengaruhi oleh faktor penduduk dalam pencapaiannya. Bisa saja PBJT diintensifikasikan pemungutannya meski populasi di daerah tersebut tidak terlalu banyak selama daerah bersangkutan merupakan daerah tujuan wisata.
Edukasi terkait anggaran sektor publik seharusnya menjadi topik pembelajaran yang gencar dilakukan tidak hanya untuk kalangan politisi namun juga bagi masyarakat awam. Tertunaikan atau tidaknya janji kampanye cakada sangat bergantung dari kemampuan masyarakat dalam menganalisis konsistensi antara janji dengan ketersediaan anggaran.
Tujuannya tentu agar apa yang dijanjikan bisa terpenuhi ketika kepala daerah terpilih sudah mendapatkan mandat. Kepala daerah terpilih selayaknya menyiapkan berbagai rencana khususnya dalam mendanai janji politik yang terlanjur terucap. Jangan sampai janji yang diucapkan hanyalah cara agar yang penting terpilih namun gagap ketika ternyata anggaran yang tersedia tidak mencukupi.